Monday - Saturday, 8AM to 10PM
Call us now 085659630177

Teknologi (Bukan) Solusi Masalah Pendidikan

Jakarta - Di Indonesia telah bermunculan beberapa perusahaan yang menjajakan dagangan teknologi khusus pendidikan, baik yg berasal menurut pada maupun luar negeri. Misalnya, ada satu start-up lokal yg rajin sekali menghiasi layar kaca televisi kita. Jika diperhatikan, kesemua perusahaan tadi mengampanyekan solusi berdasarkan problematika pendidikan di Indonesia merupakan teknologi.

Carut-marutnya pendidikan nasional kita memang sedang di ambang kritis. Masalah-perkara seperti posisi paling buncit di pemeringkatan literasi dan matematika murid, kuantitas dan kualitas pengajar yang tidak merata penyebarannya di daerah, & inisiasi kebijakan yg niatnya baik tapi sasarannya sering salah, serta banyak lagi menciptakan pendidikan Indonesia memang perlu melakukan terobosan.

Pertanyaannya lalu, "Apakah teknologi solusinya?"

Justifikasi & Kepercayaan

Banyak tokoh nasional & tentunya pengusaha teknologi yg getol menggembar-gemborkan berita Revolusi Industri 4.0. Ini sebagai hype, sensasi, yang lalu didukung banyak media arus primer. Klaim utamanya: zaman makin canggih & umat manusia harus mengikutinya agar nir tertinggal; maka teknologi merupakan keniscayaan. Bagi dunia pendidikan, terdapat dua unsur primer yang mendorong teknologi digital masuk ke pendidikan, yaitu dorongan eksternal & dorongan internal.

Dorongan eksternal yang menjustifikasi penggunaan teknologi dalam pendidikan bersifat top-down, berdasarkan atas ke bawah. Dorongan ini berasal berdasarkan aktor-aktor pada luar pendidikan (pemerintah, industri) yang percaya bahwa teknologi "baik" buat pendidikan. Sayangnya, dorongan ini sangat dominan.

Profesor Neil Selwyn, sosiolog pendidikan berdasarkan Monash University menjelaskan bahwa banyak negara telah dengan sangat terang merumuskan taktik kebijakan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada proses belajar-mengajar. Para aktor tersebut melihat anak-anak zaman sekarang merupakan pribumi kampung digital (digital natives) yg semua aspek hidupnya tak lepas berdasarkan teknologi digital & sang karenanya wajib dididik menggunakan teknologi.

Sedangkan dorongan internal yg sifatnya bottom-up, dari bawah ke atas, tiba menurut pelaku pendidikan, misalnya peneliti, guru, siswa &, bahkan, institusi pendidikan. Dorongan ini dilandasi pada beberapa kepercayaan. Sebagai contoh, teknologi dapat menaikkan kemampuan kognitif manusia.

Ini seringkali dikaitkan dengan teori constructivist di mana pembelajaran terjadi dalam situasi yg kolaboratif & suportif. Bagi siswa, dengan teknologi digital mereka bisa mendapatkan materi belajar dengan mudah, tidak terbatas, & kadang gratis. Juga, teknologi membantu guru pada menaikkan profesionalisme mereka --seperti diskusi dengan pengajar lain & saling berbagi bahan ajar secara online-- & menyelesaikan hal-hal yang sifatnya prosedural & birokratis.

Sekolah & universitas jua melihat teknologi dapat menciptakan citra terkini sebuah institusi. Misalnya, teknologi dapat mengefisiensikan usaha proses pada mengoperasikan usaha mereka.

Pandangan-pandangan tersebut --yg sebenarnya masih terbuka buat diperdebatkan-- sebagai alasan internal kependidikan memakai teknologi pada ruang kelas. Nyatanya, dua pendorong ini saling berkelindan & memantapkan penerapan teknologi pendidikan. Sangat Kompleks Pengarusutamaan digital sebagai satu berdasarkan enam poin primer dalam dokumen Pembangunan Nasional 2020-2024. Secara khusus, penerapan pendidikan jeda jauh (distance education) dan pembelajaran daring (online learning) akan diperkuat lagi guna menaikkan mutu pendidikan nasional.

Fenomena kebijakan ini sedikit-banyak dipengaruhi sang peningkatan eksponensial akan kegiatan ekonomi berbasis teknologi. Di Tanah Air, usaha perusahaan rintisan sebagai primadona baru pada berbelanja & bepergian. Tercatat, terdapat empat start-up ritel & transportasi sudah menyandang status unicorn & decacorn. Penerapan teknologi digital terasa sangat membantu.

Selain pemerintah pusat yg melakukan pengembangan teknologi pendidikan di Pusat Teknologi Informasi & Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan, lebih dari 30 pemerintah provinsi pula sudah bekerja sama menggunakan sebuah start-up pendidikan swasta buat berbagi sistem manajemen pembelajaran pada sekolah-sekolah.

Strategi ini membutuhkan ongkos yg sangat besar buat memastikan ketersediaan komputer bagi semua anak didik & guru, pendidikan dan pembinaan bagi pendidik & tenaga kependidikan, bersama penyesuaian kurikulum. Akhirnya, seperti kata Neil Selwyn, teknologi menjadi pusat dari pendidikan yang tak jarang kali tidak mengindahkan kondisi sosial dan ekonomi negara.

Berbagai literatur memberitahuakn penerapan teknologi dalam pendidikan wajib melalui dasar pemikiran akan hubungan antara murid, ilmu pengetahuan, pengajar, orangtua, dan institusi pendidikan. Praktisi teknologi pendidikan internasional Robert Kozma berpendapat bahwa adopsi teknologi digital hanyalah akibat dari perubahan-perubahan mengenai bagaimana esensi pendidikan dan pembelajaran dipahami. Perubahan-perubahan tadi mencakup;

pertama, menata kembali kiprah pengajar: berdasarkan pengajar sebagai inisiator pembelajaran menjadi pengajar menjadi pemandu anak didik menemukan cara belajar yg cocok baginya dan mengevaluasi sendiri pembelajarannya.

Kedua, menata balik esensi pengajaran: menurut pengajar yg bekerja sendirian menjadi guru yg berkolaborasi dengan guru lain.

Ketiga, menata balik kiprah anak didik: dari murid sebagai pelajar pasif ke anak didik aktif yg bekerja menjadi tim dalam membangun pengetahuan baru & menyelesaikan masalah.

Keempat, menata balik peran institusi pendidikan: menurut institusi yg terisolasi dari masyarakat ke institusi yg terintegrasi menggunakan masyarakat.

Kelima, menata pulang kiprah orangtua: berdasarkan orangtua yg nir mau tahu akan pendidikan anaknya menjadi orangtua yg aktif dalam aktivitas belajar anak. Ujung-ujungnya hal primer yang paling dulu mesti dipandang ulang merupakan peran pengajar, siswa, sekolah, & orangtua. apabila informasi-isu yg sangat elementer tersebut belum diubah, mampu jadi teknologi bukannya menjadi solusi tapi malah menambah rumit problem pendidikan. Pendidikan adalah ranah yang sangat kompleks & berantakan misalnya benang kusut. Sifat alamiah pendidikan mencakup nir hanya aspek teknologi saja, tapi pula aspek sosiologi rakyat yg tumbuh dalam konteks tertentu, aspek psikologi anak yg sangat beragam, aspek politik pada mana kebijakan tidak pernah netral berdasarkan kepentingan non-pendidikan, aspek ekonomi yg mensugesti stabilitas sosial tertentu, & lain sebagainya. Ada poly sekali elemen & sektor yang mesti diurai satu per satu. Dan teknologi bukanlah silver bullet yang digdaya memecahkan semua masalah pendidikan. Aziz Awaludin peneliti kebijakan pendidikan pada Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat (PPIM), Universitas Islam Negeri Jakarta

Komentari Tulisan Ini
Kepala Sekolah
Muhamad Ali, M.H.I.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan rahmat dan rizki kepada kita semua Alhamdulilah dengan izin Allah, SMK ISLAM…

Iklan
Partner Host